PERSEPSI
TENTANG BERPERKARA DI PENGADILAN
Dari
beberapa orang responden dengan pelbagai jenis latar belakang sosial – ekonomi yang
berhasil diwawancarai, maka persepsi tentang berperkara di pengadilan terkait
dengan pelbagai aspek, antara lain; hubungan sosial, biaya, serta waktu.
Menyangkut faktor hubungan sosial, para informan memandang penyelesaian lewat
cara lain, misalnya mediasi, lebih menjamin penyelesaian yang damai daripada
lewat pengadilan;
Bagi
masyarakat, pengadilan hanya menjadi pilihan terakhir bila penyelesaian lewat
mediasi tidak berhasil. Hal ini disebabkan karena dengan tidak terselesaikannya
sengketa lewat mediasi menjadi tanda bahwa para pihak sudah berada pada titik
konflik yang bersifat bermusuhan. Oleh karena itu, pengadilan menjadi forum
yang tepat untuk menentukan siapa yang menang dan yang kalah;
Dari
perspektif struktural, sikap masyarakat yang menganggap pengadilan menjadi
forum yang tepat untuk menentukan siapa yang menang dan yang kalah, dapat dijelaskan
sebagai akibat dari orientasi nilai harmoni diantara mereka. Menurut Friedman,
nilai seperti itu merupakan kekuatan sosial (social forces) yang berada diluar
individu, yang disebut sebagai budaya hukum. Sementara itu, dari perspektif
strukturisasi, dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang berorientasi nilai tersebut
merupakan norma – norma ideal yang berlaku, yang oleh Giddens disebut sebagai
struktur. Oleh karena itu, meminta bantuan PENGACARA/ADVOKAT/KONSULTAN HUKUM untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai,
selain dianggap sebagai upaya menghindari konflik,
juga karena PENGACARA/ADVOKAT/KONSULTAN HUKUM dianggap sebagai orang yang paling mengetahui
masalah dan memiliki hubungan emosional dengan mereka. Bagi mereka berperkara ke pengadilan
sesungguhnya membutuhkan biaya yang banyak dan memakan waktu yang lama,
sedangkan melalui karena PENGACARA/ADVOKAT/KONSULTAN HUKUM, selain tidak
berlarut – larut dan informal sifatnya, juga membutuhkan biaya yang didasarkan
pada kesepakatan;
Pertimbangan
untung – rugi menurut Homans berakar pada preferensi ekonomis dan psikologis.
Itulah sebabnya, tindakan seseorang sangat ditentukan oleh reward and
punishment. Karena berperkara di pengadilan dipahami sebagai bentuk perkara
yang mahal, maka makin kecil kemungkinan untuk menempuh cara tersebut.
Sementara itu, data yang diperoleh dari mereka yang berperkara ke pengadilan,
terkait dengan alasan, motivasi, dan tujuan tertentu;
Ada
3 (tiga) kondisi yang dirasakan sebagai pendorong/pemaksa dibawanya sengketa ke
pengadilan, yaitu; (1) penyelesaian secara informal tidak tercapai, (2) salah
satu pihak merasa memiliki kesempatan/alat bukti yang lebih kuat, dan (3) untuk
mendapat kepastian yang tidak dapat diganggu – gugat/lebih aman mengenai haknya
atas obyek perkara. Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa walaupun
pengadilan menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan sengketa, namun ia
sangat fungsional dalam memperoleh kepastian hak serta mencapai penyelesaian
yang lebih pasti. Dengan perkataan lain, secara sosiologis, pengadilan mendapat
tempat terhormat untuk memecahkan masalah konflik dan merupakan acuan utamabagi
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar